Arsip untuk Oktober, 2012

Buruh Tiang Negara

Posted: 10/27/2012 in Nasional

Ada Suci Makbullah

Buruh merupakan tiang dari sebuah bangsa, itulah kira-kira kalimat yang tetap yang harus dismartkan pada semua kelompok buruh. Perjuangan kelompok buruh di Indonesia dimulai sejak masih adanya kolonialisme Belanda di Indonesia, kaum buruh sejak itu sudah mulai tersadarkan untuk membangun oraganisasi-organisasi buruh sebagai alat perjuangan, tapi perjuangan-perjuangan buruh ini tidak pernah berakhir dengan sebuah kemenangan, Serikat buruh ini tidak pernah berkembang menjadi gerakan yang militan dan berakhir dengan keberhasilan. Sebab kemunculan organisasi buruh di Indonesia sangat beragam kondisinya, pada zaman kolonialisme Belanda sampai setelah kemerdekaan (Era Pemerintahan Orde lama, Soekarno) serikat buruh banyak sekali bermunculan dengan latar belakang yang berbeda-beda, format serikat buruh pada zaman tersebut sesuai dengan sektornya masing-masing, seperti PGHB (serikat guru) dan PPPB (serikat pegawai pegadaian pribumi), antara lain VIPBOW (serikat buruh pekerjaan umum), PFB (serikat buruh pabrik gula), Typografenbond (serikat buruh percetakan), Sarekat Postel dan PPDH (serikat pegawai kehutanan) dan lain sebaginya.

Akan tetapi Serikat buruh pada Era Orde Baru, Soeharto semuanya disederhanakan yang dikendalaikan oleh pemerintah yakni SPSI , sehingga rata-rata semua buruh di seluruh Indonesia menjadi anggota dari serikat buruh tersebut. Pada saat meledaknya Reformasi sampai pasca reformasi serikat-serikat buruh di Indonesia kembali bermunculan dengan ratusan fedrasi, Fornt dan Konfedrasi buruh. Tapi sayang sepanjang perjalanan perjuangan serikat buruh ini jarang sekali kekuatan buruh ini bersatu dalam satu kekuatan penuh untuk melawan kebijakan-kebijakan yang memang dianggap sangat merugikan buruh. Malah pergerakan buruh akhir-akhir ini terlihat tidak solid dan memiliki faksi-faksi yang berujung pada saling tuding menuding. Jelas kondisi ini sangat disayangkan disaat setumpuk agenda kebijakan yang akan mengancam kepentingan dan kesejahteraan kalangan buruh, seperti UU SJSN No.40 2002, BPJS, Upah Murah dan Outsorsing. Itu semua merupakan issue-issue kerusial yang harus di hadapai oleh semua serikat buruh. Tanpa kesolidan semua serikat buruh yang ada, musatahil itu akan berhasil apa yang menajadi tuntutan bersama

Fenomena serikat buruh akhir-akhir ini, lebih cendurng kepada perebutan eksistensi di panggung politk, ketimbang menuntasakan apa-apa yang menajadi paltfrom perjuangan buruh. sehingga yang muncul di permukaan terkotak-kotaknya organisasi buruh, tentu dengan kondisi seperti itu tidak akan maksimal apa yang menjadi tuntutan dasar demi untuk kesejahteraan buruh. Ada serikat buruh yang memang sudah mapan, karena suadah lama berdiri, kekuatan dana kuat dan memiliki kekuatan massa yang besar, tapi bisa dibilang loyo, kurang tanggap dan kurang progresif untuk melakukan gerakan-gerakan demi kepentingan buruh, disisi lain ada serikat buruh yang memang masih dibilang kecil dan merangkak tapi mereka memiliki semangat gerakan perubahan untuk memperjuangan nasib buruh. Jelas ini merupakan suatu kekuatan yang luar biasa dan bisa menajdi lokus gerakan bagi kepentingan perjuangan buruh jika serikat-serikat yang ada, sama-sama duduk barang untuk membicarakan agenda-agneda buruh kedepan yang harus di perjuangkan, jangan saling unjuk adu hegomoni, keinginan ingin menghegomoni. Tapi mari duduk dalam satu meja dan mendiskusikannya.

 

 

Oleh: Edna C Pattisina (Aktivis Imparsial)

Masuknya Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nasional ke Dewan Perwakilan Rakyat segera disambut hujan kritik dari berbagai lembaga swadaya masyarakat. RUU itu dinilai memandang keamanan dari sudut kepentingan pemerintah semata sehingga berpotensi menjadi landasan legal tindak represif dari aparat.

Keamanan nasional adalah kepentingan negara dan warganya. Kepentingan keduanya harus muncul serentak dengan porsi yang sama dalam diskursus tentang keamanan. Yang dimaksud dengan keamanan nasional adalah keamanan negara, keamanan masyarakat, dan keamanan individu. Prinsip ini yang harus dipegang teguh dalam penyusunan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang tahun ini akan dibahas pemerintah dan DPR.

Masalahnya tidak sederhana. Negara harus menjamin keamanan masyarakat dan orang per orang, sementara ancaman berubah menjadi begitu kompleks. Dahulu ancaman lebih bersifat militer, seperti penyerangan dan invasi. Sekarang, ancaman ada dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, bahkan gaya hidup. Dahulu ancaman datang dari luar atau dalam negeri. Kini, dari mana ancaman berasal tidak bisa lagi didefinisikan.

Konsekuensi dari demokrasi adalah memandang rakyat sebagai penguasa tertinggi membuat keamanan individu dan masyarakat menjadi entitas yang sejajar dengan keamanan nasional. Pola pikir tentang hegemoni negara yang menjadi pembenaran atas semua tindakan aparat harus disingkirkan.

Oleh karena itu, menjadi pertanyaan besar saat dalam draf RUU Kamnas ditemukan pasal yang hanya memperkuat hegemoni negara, seperti pasal tentang kewenangan khusus bagi TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memeriksa dan menangkap. Imparsial yang pertama kali merilis hal ini menyebutkan, penjelasan Pasal 54 Huruf (e) juncto Pasal 20 RUU Kamnas menunjukkan rencana terselubung pemerintah yang memiliki tujuan politis untuk menjadikan TNI dan BIN sebagai aparat penegak hukum.

Penjelasan Pasal 54 Huruf (e) berisi ”Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, dan melakukan tindakan paksa….” Pasal 20 berisi ”Unsur Keamanan Nasional tingkat pusat meliputi TNI, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Polri.”

Praktik seperti ini dilakukan Orde Baru sebagai praktik ”gelap”. Kini, oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hal ini akan dilegalkan melalui UU. Upaya untuk memasukkan soal penyadapan dan penahanan adalah kali kedua setelah RUU tentang Intelijen yang tengah dibahas di DPR. ”Hal ini seperti melegalisasi represi,” kata Al Araf dari Imparsial.

Tuduhan ini dibantah Kementerian Pertahanan. Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Pos M Hutabarat mengatakan, RUU Kamnas mengatur pengawasan terhadap semua instansi yang memiliki wewenang khusus, seperti penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan. Instansi itu, antara lain TNI, Polri, Kejaksaan, BIN, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).UU Kamnas disebut tidak menambah wewenang. Pasal 54 itu mengatur pengawasan yang dilakukan Dewan Keamanan Nasional.

Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin mengatakan, pihaknya menemukan adanya potensi abuse of power (penyalahgunaan wewenang) oleh pemerintah melalui RUU Kamnas. Substansi RUU ini harus banyak diperbaiki karena bisa melanggar hak asasi manusia (HAM) dan membelenggu hak sipil masyarakat.

Banyak pasal karet yang menuju pada abuse of power. Penjelasan Pasal 17 RUU Kamnas, misalnya, mengategorikan pemogokan massal, penghancuran nilai moral dan etika bangsa, ketidaktaatan hukum, serta diskonsepsional perumusan regulasi dan legislasi sebagai ancaman keamanan nasional. Ini bisa menjadi dasar untuk memasukkan demonstrasi oleh siapa saja dan pemogokan sebagai ancaman bagi keamanan nasional sehingga bisa ditangani secara represif.

Bahkan, pers bisa dianggap mengancam keamanan nasional apabila dinilai ”menghancurkan nilai moral dan etika bangsa”. Permasalahannya, siapa yang berhak mendefinisikan moral dan etika? Penguasa dalam RUU ini menggunakan kaki tangan unsur keamanan nasional, antara lain TNI, BIN, dan Polri. Bahkan, RUU ini bisa menindak anggota DPR dengan alasan membuat konsep legislasi dan regulasi yang tak sesuai dengan konsep keamanan nasional versi pemerintah.

Walaupun RUU Kamnas ini diharapkan dapat mengisi celah antara UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, ruang lingkup keamanan nasional yang luas dalam RUU ini cenderung diserahkan penanganannya kepada TNI, Polri, dan intelijen. Mereka berperan menangani ancaman keamanan mulai dari ancaman militer sampai ancaman tak bersenjata. Hal ini menimbulkan ruang dan peluang terjadinya tumpang tindih serta bias sekuritisasi. Padahal, diharapkan RUU ini bisa menutup celah yang ada dengan mengatur hubungan kerja sama dan koordinasi antaraktor keamanan.

Pengaturan koordinasi TNI ke Polri yang selama ini dinanti-nanti juga tidak ada. Yang muncul malah penggabungan yang bisa merusak pembagian tugas yang ada selama ini. Pasal 43 RUU Kamnas malah menyebutkan soal perbantuan internasional. Padahal, yang dibutuhkan adalah batas dan prinsip dalam perbantuan TNI ke Polri.

 

Penting substansi RUU Kamnas yang mengakomodasi keamanan negara, masyarakat, dan individu sebegitu tingginya. Apalagi UU Kamnas nantinya menjadi ”payung” dari segenap UU yang mengatur keamanan dan pertahanan nasional. Sebab itu, RUU ini tidak boleh membuka peluang penyimpangan sekecil apa pun….