Posts Tagged ‘Ada Suchy Makbullah’

Oleh: Edna C Pattisina (Aktivis Imparsial)

Masuknya Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nasional ke Dewan Perwakilan Rakyat segera disambut hujan kritik dari berbagai lembaga swadaya masyarakat. RUU itu dinilai memandang keamanan dari sudut kepentingan pemerintah semata sehingga berpotensi menjadi landasan legal tindak represif dari aparat.

Keamanan nasional adalah kepentingan negara dan warganya. Kepentingan keduanya harus muncul serentak dengan porsi yang sama dalam diskursus tentang keamanan. Yang dimaksud dengan keamanan nasional adalah keamanan negara, keamanan masyarakat, dan keamanan individu. Prinsip ini yang harus dipegang teguh dalam penyusunan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang tahun ini akan dibahas pemerintah dan DPR.

Masalahnya tidak sederhana. Negara harus menjamin keamanan masyarakat dan orang per orang, sementara ancaman berubah menjadi begitu kompleks. Dahulu ancaman lebih bersifat militer, seperti penyerangan dan invasi. Sekarang, ancaman ada dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, bahkan gaya hidup. Dahulu ancaman datang dari luar atau dalam negeri. Kini, dari mana ancaman berasal tidak bisa lagi didefinisikan.

Konsekuensi dari demokrasi adalah memandang rakyat sebagai penguasa tertinggi membuat keamanan individu dan masyarakat menjadi entitas yang sejajar dengan keamanan nasional. Pola pikir tentang hegemoni negara yang menjadi pembenaran atas semua tindakan aparat harus disingkirkan.

Oleh karena itu, menjadi pertanyaan besar saat dalam draf RUU Kamnas ditemukan pasal yang hanya memperkuat hegemoni negara, seperti pasal tentang kewenangan khusus bagi TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memeriksa dan menangkap. Imparsial yang pertama kali merilis hal ini menyebutkan, penjelasan Pasal 54 Huruf (e) juncto Pasal 20 RUU Kamnas menunjukkan rencana terselubung pemerintah yang memiliki tujuan politis untuk menjadikan TNI dan BIN sebagai aparat penegak hukum.

Penjelasan Pasal 54 Huruf (e) berisi ”Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, dan melakukan tindakan paksa….” Pasal 20 berisi ”Unsur Keamanan Nasional tingkat pusat meliputi TNI, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Polri.”

Praktik seperti ini dilakukan Orde Baru sebagai praktik ”gelap”. Kini, oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hal ini akan dilegalkan melalui UU. Upaya untuk memasukkan soal penyadapan dan penahanan adalah kali kedua setelah RUU tentang Intelijen yang tengah dibahas di DPR. ”Hal ini seperti melegalisasi represi,” kata Al Araf dari Imparsial.

Tuduhan ini dibantah Kementerian Pertahanan. Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Pos M Hutabarat mengatakan, RUU Kamnas mengatur pengawasan terhadap semua instansi yang memiliki wewenang khusus, seperti penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan. Instansi itu, antara lain TNI, Polri, Kejaksaan, BIN, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).UU Kamnas disebut tidak menambah wewenang. Pasal 54 itu mengatur pengawasan yang dilakukan Dewan Keamanan Nasional.

Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin mengatakan, pihaknya menemukan adanya potensi abuse of power (penyalahgunaan wewenang) oleh pemerintah melalui RUU Kamnas. Substansi RUU ini harus banyak diperbaiki karena bisa melanggar hak asasi manusia (HAM) dan membelenggu hak sipil masyarakat.

Banyak pasal karet yang menuju pada abuse of power. Penjelasan Pasal 17 RUU Kamnas, misalnya, mengategorikan pemogokan massal, penghancuran nilai moral dan etika bangsa, ketidaktaatan hukum, serta diskonsepsional perumusan regulasi dan legislasi sebagai ancaman keamanan nasional. Ini bisa menjadi dasar untuk memasukkan demonstrasi oleh siapa saja dan pemogokan sebagai ancaman bagi keamanan nasional sehingga bisa ditangani secara represif.

Bahkan, pers bisa dianggap mengancam keamanan nasional apabila dinilai ”menghancurkan nilai moral dan etika bangsa”. Permasalahannya, siapa yang berhak mendefinisikan moral dan etika? Penguasa dalam RUU ini menggunakan kaki tangan unsur keamanan nasional, antara lain TNI, BIN, dan Polri. Bahkan, RUU ini bisa menindak anggota DPR dengan alasan membuat konsep legislasi dan regulasi yang tak sesuai dengan konsep keamanan nasional versi pemerintah.

Walaupun RUU Kamnas ini diharapkan dapat mengisi celah antara UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, ruang lingkup keamanan nasional yang luas dalam RUU ini cenderung diserahkan penanganannya kepada TNI, Polri, dan intelijen. Mereka berperan menangani ancaman keamanan mulai dari ancaman militer sampai ancaman tak bersenjata. Hal ini menimbulkan ruang dan peluang terjadinya tumpang tindih serta bias sekuritisasi. Padahal, diharapkan RUU ini bisa menutup celah yang ada dengan mengatur hubungan kerja sama dan koordinasi antaraktor keamanan.

Pengaturan koordinasi TNI ke Polri yang selama ini dinanti-nanti juga tidak ada. Yang muncul malah penggabungan yang bisa merusak pembagian tugas yang ada selama ini. Pasal 43 RUU Kamnas malah menyebutkan soal perbantuan internasional. Padahal, yang dibutuhkan adalah batas dan prinsip dalam perbantuan TNI ke Polri.

 

Penting substansi RUU Kamnas yang mengakomodasi keamanan negara, masyarakat, dan individu sebegitu tingginya. Apalagi UU Kamnas nantinya menjadi ”payung” dari segenap UU yang mengatur keamanan dan pertahanan nasional. Sebab itu, RUU ini tidak boleh membuka peluang penyimpangan sekecil apa pun….

 

Kemerosotan peran yang dimiliki oleh Sarekat Islam disertai dengan kegagalan pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia telah menimbulkan sejumlah akibat bagi gerakan nasionalis Indonesia. Tetapi yang penting adalah timbulnya suatu kekosongan dalam gerakan nasionalis, di mana gerakan nasionalis ini memerlukan pengarahan dan pimpinan baik dari sisa-sisa organisasi politik yang ada maupun pembentukan partai-partai baru.

Melihat kekosongan itu, Moh Hatta, Iskaq, Budyharto dan Sujadi berusaha merealisir pembentukan suatu partai baru yang sesuai dengan rencana-rencana Perhimpunan Indonesia sesegara mungkin. Akhirnya diumumkan kepada publik kalau mereka bermaksud mendirikan sebuah partai baru yang dinamakan Sarekat Rakyat Nasional Indonesia (SRNI) dan direncanakan pada bulan Juli 1927 diadakan kongres untuk meresmikan partai tersebut. Persiapan-persiapan yang telah dilakukan memperlihatkan kalau partai yang mau dibentuk itu tidak didasarkan pada Islam maupun Komunisme. Tetapi pada akhirnya inisiatif itu kurang cukup memadai untuk direalisir, sebab partai baru yang mau dibentuk itu dianggap kurang mampu menampung aspirasi para pendukungnya, yang menganggap mereka yang di negeri Belanda kurang paham terhadap situasi yang ada di tanah air.

Sebaliknya di tanah jajahan Hindia Belanda, pimpinan Kelompok Studi Umum yang merasa lebih paham tentang situasi di tanah air daripada pengurus Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda mulai mengambil inisiatif untuk membentuk partai baru, yang berlandaskan paham kebangsaan. Tidak memakan waktu cukup lama, akhirnya Soekarno, Tjipto Mangunkusumo dan beberapa anggota bekas Perhimpunan Indonesia seperti Iskaq, Sujadi, Sunario dan Budhyarto berhasil membentuk partai baru, yang dinamakan Perserikatan Nasional Indonesia, pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Sejak itulah secara perlahan-lahan tetapi pasti gerakan nasionalis di Indonesia yang dulunya dipegang oleh bekas gurunya Soekarno, HOS Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam-nya beralih kepada anak asuhnya HOS Tjokroaminto, Soekarno dengan Perserikatan Nasional Indonesia berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia beberapa bulan setelah terbentuk.

Nama Soekarno semakin menjulang ke atas langit pada saat ia bersama dengan Maskun, Gatot Mangkupradja dan Supriadinata ditangkap dan ditahan atas tuduhan pemerintah kolonial Hindia Belanda, kalau mereka dianggap telah menganggu ketertiban dan ketentraman umum selama beberapa tahun. Tentu saja, kejadian ini menyentak gerakan nasionalis. Bahkan pers nasionalis menyatakan rasa kaget dan kecewa terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Walaupun demikian mereka menghimpun agar para pembaca diminta dengan sangat agar tetap tenang dan yakin bahwa partai itu bersih dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya.

Dalam acara persidangan di pengadilan basar Bandung ketika Soekarno diberi kesempatan untuk mengadakan pembelaan, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan, lewat penampilan yang lebih banyak ditujukan kepada reporter-reporter surat kabar yang hadir daripada kepada pengadilan itu sendiri, ia melancarkan kritik penuh gaya terhadap masyarakat Indonesia kaum nasionalis dalam pleidoi yang berjudul “Indonesia Menggugat“, yang dianggap sebagai dokumen yang amat bersejarah itu. Soekarno menyebut-nyebut golongan terbesar dalam masyarakat Indonesia.

“ Sebab susunan pergaulan hidup Indonesia sekarang adalah pergaulan merk Kromo, pergaulan hidup Marhaen, pergaulan hidup yang sebagian besar sedakli adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, pendek kata: ….kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil!”

Untuk lebih memahami istilah kata “Marhaen” itu, ada baiknya menengok kembali cerita yang dikisahkan oleh Soekarno dalam autobiografinya. Sebagai mahasiswa Technise Hogere School, Soekarno biasanya mendayung sepedanya ke kampus. Tetapi pada saat itu ia tidak melakukan kebiasaan itu. Ia pergi tanpa tujuan, hingga akhirnya membawa dirinya ke Bandung Selatan, suatu daerah pertanian yang padat penduduknya dan setiap petani memiliki tanah garapan kurang daripada sepertiga hektar. Di daerah persawahan itulah Soekarno berbincang-bincang dengan petani yang berada di situ.

Melalui pertanyaan yang diajukan kepada petani yang diajak bincang-bincang itu. Soekarno mendapat jawaban bahwa petani itu adalah pemilik tanah, cangkul dan bajak dengan bekerja keras petani itu berusaha untuk memenuhi rumah tangga. Hasilnya sekedar untuk keperluan keluarganya,  ada kelebihan untuk dijual. Ketika ditanya siapa namanya, petani tanpa majikan ia menjawab : Marhaen. Akhirnya Soekarno memutuskan untuk menggunakan istilah itu sebagai lambang kaum yang lemah, sengsara dan tertindas akibat daripada kekejaman imperialisme selama berabad-abad itu.

Berkaitan dengan istilah Marhaen, John D Legge yang ahli tentang Soekarno itu mengatakan bahwa istilah tersebut sudah biasa digunakan sejak tahun 1927 dan sesungguhnya tidak lebih dari kata yang sama dalam bahasa Sunda untuk kata Jawa “Kromo”. Pendapat yang hampir serupa juga diungkapkan oleh John Ingelson yang menyebutkan bahwa kata Marhaen adalah sebuah kata bahasa Sunda yang digunakan Sarekat Islam pada akhir tahun 1910-an dan awal 1920-an yang berarti, petani kecil. Pendapat yang bertolak belakang dari pendapat yang dikemukakan kedua ilmuwan diatas itu dinyatakan oleh Bernhard Dahm, yang menulis disertasi mengenai biografi intelektual Soekarno masa kolonial. Menurut pendapatnya, istilah Marhaen belum terdengar. Kata Marhaen itu mulai tersebar luas ketika Soekarno mempergunakannya di dalam pidatonya yang berjudul “Indonesia Menggugat “. Selanjutnya Bernhard Dahm menjelaskan bahwa sampai akhir tahun 1930, ungkapan yang biasanya dipakai itu menyebut rakyat kecil adalah istilah kaum “Kromo” yang kerapkali digunakan oleh Partai Komunis Indonesia. Tetapi untuk maksud yang PKI sering menggunakan kata Proletariat. Dimata Soekarno istilah proletariat kurang sesuai dengan situasi yang ada di Indonesia. Maka ia harus senang menggunakan istilah itu untuk menolak tuduhan bahwa PNI adalah identik dengan PKI.

Sebenarnya pemikiran tentang rakyat kecil merupakan suatu sumbangan yang khas dalam pemikiran politik Soekarno, walaupun hal itu tidak merupakan sesuatu yang amat penting. Dapat dikatakan bahwa konsep yang diajukan itu merupakan suatu penilaian yang jujur terhadap sifat masyarakat Indonesia. Marxisme telah memberikan kepada Soekarno, alat yang amat penting guna melakukan analisa sosial dan dalam pengkajiannya tentang sifat kekuasaan kolonial.

Dalam Indonesia Menggugat, Soekarno secara tajam membedakan konsep Marhaen itu dengan konsep Proletar, maka menurut pandangan Soekarno struktur masyarakat Indonesia belum industrialis seperti di negera Barat. Bedanya adalah massa Marhaen bukan terdiri dari satu golongan saja, tetapi dari berbagai ragam golongan kecil seperti, petani kecil, pengusaha kecil, buruh kecil, nelayan kecil dan sebagainya yang semuanya kecil, sama-sama menanggung beban akibat kekejaman imperialisme dan kapitalisme. Semua rakyat kecil itu dinamainya kaum Marhaen.

Soekarno secara cerdik menggunakan analisa sosial Karl Marx kepada kondisi masyarakat Indonesia. Ia melihat tiada perlunya konsep proletar serta menganggap penting arti massa rakyat. Ini sesuai dengan pandangannya tentang perlawanan terhadap imperialisme. Ia melihat bahwa bentuk perlawanan itu seharusnya tidak terhadap sesuatu yang mengandung unsur-unsur ketegangan kelas seperti yang diyakini PKI, tetapi menitik beratkan kepada perjungan antar dua kutub ekstrim yaitu masyarakat Indonesia sebagai suatu keseluruhan melawan kekuasaan kolonial Hindia Belanda.

Konsep Marhaen itu dibuat Soekarno telah memecahkan suatu masalah yang selama bertahun-tahun merisaukannya. Didepan kongres Jong Java di Bandung pada tahun 1921, Soekarno mengemukakan bahwa tentang tidak terelakannya suatu perjuangan kelas dalam masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, ia tidak pernah puas dengan pandangan itu. Akhirnya ia menemukan konsep Marhaen yang memungkinkan ia lebih menempatkan perjuangan itu ke dalam pengertian nasional daripada ke dalam pengertian kelas.

Ternyata pembelaan yang diajukan oleh Soekarno dan kawan-kawan maupun pengacaranya tidak membebaskan mereka dari hukuman yang berat

Kerasnya hukuman yang dijatuhkan pada pundak Soekarno justru mengejutkan baik para pemimpin yang dianggap bersalah itu maupun kelompok yang lebih luas dari kaum nasionalis itu. Bahkan professor JMJ Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Batavia, mengutuk dasar hukum yang dijatuhkan kepada pimpinan Partai Nasional Indonesia itu. Walaupun muncul protes-protes, Dewan Hakim tidak ambil peduli dengan suara-suara itu. Keputusan yang diambil Dewan Hakim itu membawa Soekarno dan kawan-kawan untuk meringkuk lembali di ballik penjara Sukamiskin.

Ketika Soekarno di balik penjara itu, ia dengan kecewa mengetahui kalau Partai Nasional Indonesia yang ia didirikan itu membubarkan diri dengan alasan sulit untuk mempertahankan eksistensi partai itu akibat ditahannya beberapa pimpinan PNI. Sartono sebagai penggerak utama pembubaran partai itu, memutuskan untuk mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo). Tindakan Sartono ini menimbulkan kritik maupun kecaman dari sebagian besar anggota PNI. Akhirnya pendukung PNI terpecah-pecah dan mereka yang kurang menyetujui pembubaran itu, akhirnya memutuskan untuk membentuk partai baru, yang diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia Baru, yang digerakkan oleh Moh Hatta dan Sutan Sjahrir. Melihat gerakan nasionalis semakin terkoyak-koyak hanya membuat hati Soekarno semakin sedih saja, tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa, sebab keadaan yang tidak memungkinkan ia berbuat sebagaimana yang dia inginkan.

Setelah dua tahun mendekam di dalam penjara, Gubernur Jendral D Graeff mengumumkan pengampunan sebagian hukuman para pemimpin PNI almarhum. Soekarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931 sesudah menjalani hukuman dua tahun dari seharusnya empat tahun. Pembebasan Soekarno disambut dengan gembira di kota-kota Indonesia. Hal itu jelas kelihatan ketika ia berkunjung ke Surabaya untuk menghadiri Kongres Indonesia Raya yang diadakan oleh PPKI. Di stasiun Surabaya dia disambut sekitar 5000 orang, pekikan gembira “hidup Soekarno” diteriakan oleh massa, bahkan dinyanyikan lagu “Mars Soekarno”. John Ingelson yang menulis disertasi mengenai gerakan nasionalis 1927 – 1934, memberi komentar terhadap kehadiran di kota Surabaya itu sebagai bukti betapa mendalamnya perasaan yang telah dibangkitkannya baik secara pribadi maupun kedudukannya sebagai simbol perjuangan Indonesia.

Tetapi semuanya itu tidak membuat Soekarno berhasil menyatukan dua kekuatan gerakan nasionalis, antara Partai Indonesia (Partindo) dengan Pendidikan Nasional Indonesia Baru, walaupun ia telah berusaha semaksimal mungkin. Akhirnya Soekarno memutuskan untul masuk kedalam kubu Partindo yang dianggap sesuai dengan selera maupun ideologinya.. Di sana memberi kesempatan Soekarno untuk melakukan agitasi massa, yang kemudian menimbulkan massa aksi.

 

Walaupun Partindo mempunyai jumlah anggota yang banyak, tetapi jumlah cabang yang dimiliki tidak sebesar yang dipunyai Pendidikan Nasional Indonesia Baru. Kenyataan itu, menyebabkan Soekarno mengusulkan kepada Badan Pengurus Partindo pada bulan Maret 1933 agar partai itu mengubah namanya menjadi Partai Nasional Indonesia. Usulan yang diajukan Soekarno itu berdasarkan nostalgia dan kekuatiran terhadap desas-desus yang menyebutkan kalau PNI Baru juga bermaksud menggunakan nama tersebut. Soekarno menegaskan kalau ada partai yang berhak menggunakan nama Partai Nasional Indonesia, hanyalah Partai Indonesia (Partindo). Dan Soekarno menganggap bahwa pengunaan nama itu justru menolong mengurangi pengaruh PNI Baru, dan Soekarno mencoba meyakinkan bahwa pemakaian nama itu tidak mengundang tindakan pemerintah untuk menentangnya. Tetapi usaha Soekarno untuk merealisir gagasan itu tidak mendapat dukungan.

Meskipun Soekarno gagal di satu pihak, tetapi dilain pihak ia berhasil menggolkan konsep Marhaenisme agar diterima oleh partai sebagai dasar-dasar politik Partindo dalam kongres bulan Juli 1933. Kesembilan tesis yang penting dari Marhaenisme itu, di kutip kata demi kata secara keseluruhan di bawah ini.

  1. Marhaenisme , yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
  2. Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
  3. Partindo  memakai  perkataan  Marhaen dan tidak proletar oleh karena perkataan proletar itu sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen.
  4. Karena  Partindo  berkeyakinan,  bahwa  di  dalam  perjuangan, kaum melarat  Indonesia  yang  lain-lain  itu  harus  menjadi  elemen-elemen (bagian-bagian),  maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
  5. Di  dalam  perjuangan  Marhaen  itu,  Partindo  berkeyakinan,  bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.
  6. Marhaenisme   adalah   asas   yang   menghendaki susunan masyarakat dan   susunan   negeri   yang  di  dalam  segala halnya menyelamatkan Marhaen.
  7. Marhaenisme   adalah   pula   cara-cara   perjuangan  untuk  mencapai susunan  masyarakat  dan  susunan  negeri  yang  demikian  itu,  yang karenanya, harus suatu cara perjuangan revolusioner.
  8. Jadi    Marhaenisme   adalah:   Cara   perjuangan   dan   asas   yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme

Melihat butir kelima, menunjukkan bahwa Soekarno percaya kepada ramalan Karl Marx pada suatu saat kaum proletar akan menang melawan kejayaan kaum kapitalis. Di samping itu Soekarno melihat bahwa kaum proletar yang terkena langsung dengan adanya sistim kapitalisme, menyebabkan mereka lebih mempunyai daya juang yang lebih besar dibandingkan dengan golongan-golongan lainnya.

Marhaen adalah seorang petani yang sederhana yang pernah dijumpai Soekarno di Bandung Selatan ketika ia, waktu menjadi mahasiswa, sedang berjalan-jalan naik sepeda di sana. Marhaen menjadi lambang dari berjuta-juta petani, pedagang dan pengrajin kecil Indonesia yang berwiraswasta, yang tidak mempunyai pegawai dan yang ingin hidup damai dengan harta miliknya yang kecil itu. Soekarno menganggap para Marhaen ini sebagai orang-orang yang bakal bisa dijadikan penganutnya. Perjuangan antar kelas model Karl Marx atau “diktaktur kaum proletar” tidak cocok dengan paham Marhaenisme. Begitu kata Lambert J Giebels yang menulis biografi politik Soekarno.

Berkaitan dengan tesis Marhaenisme, John Ingelson memberi komentar, bahwa konsep-konsep yang diajukan oleh Soekarno itu tidaklah menunjukkan perubahan penting dalam pemikiran politik Soekarno, hanyalah sekedar penghalusan ide-idenya tentang politik, ekonomi dan sosial yang dikemukakan sejak tahun 1927 sejalan dengan arus itama gerakan nasionalis sekuler. Dan tesis yang ditawarkan Soekarno itu sekaligus merupakan jawaban atas tantangan ideologis yang diajukan oleh PNI Baru yang mulai memperkenalkan konsep kedaulatan rakyat dan kolektivisme.

Melihat gerakan nasionalis sayap non-kooperasi yang makin lama makin membahayakan kedudukan kekuasaan kolonial di tanah tanah jajahan Hindia Belanda. Gubernur Jendral De Jonge pada pertengahan tahun 1933, memerintah penahanan atas diri Soekarno kembali. Kini Soekarno bukan ditahan saja di tahan di balik tembok penjara, melainkan Soekarno dibuang atau diasingkan dari kerumumnan publik yang mengaguminya ke daerah terpencil Endeh, Flores. Hal itu juga berlaku atas Moh Hatta dan Sutan Sjahrir ke Boven Digul. Sejak itulah gerakan nasionalis tidak mempunyai pilihan untuk melakukan perlawanan terbuka dengan pemerintah Hindia Belanda.